BAGI mereka yang berminat menempuh studi di luar negeri, beasiswa adalah salah satu cara untuk mendukung cita-cita tersebut. Berbagai negara juga telah banyak menyediakan beasiswa untuk para pelajar Indonesia. Seleksi yang ketat membuat tidak semua pelamar diterima. Selain itu, informasi yang tidak lengkap juga terkadang menggagalkan kita mendapatkan beasiswa yang kita incar.
Perburuan beasiswa sejatinya dimulai sejak pencarian informasi tentang lowongan beasiswa itu sendiri. Nah, sebagai bekal dalam berburu beasiswa, ada baiknya kita mengenal berbagai hal tentang beasiswa, terutama beasiswa luar negeri.
Harus pintar?
Salah seorang anggota mailing list (milis) beasiswa, Ronald, bercerita, banyak orang menyangka, agar mendapatkan beasiswa kita harus memiliki nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi. "Beberapa beasiswa memang mensyaratkan prestasi akademik. Tetapi kenyataannya, banyak juga mahasiswa dengan nilai IPK rata-rata mendapatkan beasiswa," kata Ronald, seperti dikutip Okezone dari milis beasiswa Yahoo Groups, Kamis (23/8/2012).
IPK tidak menjadi penentu utama karena seleksi beasiswa juga biasanya mensyaratkan wawancara. Ronald mengimbuh, di antara beasiswa yang mensyaratkan prestasi akademik adalah HSP Huygens. Pendaftar beasiswa dari Belanda ini haruslah berada dalam lima persen lulusan terbaik di angkatannya. Tetapi, kata Ronald, tidak ada salahnya mencoba. "Saya pernah bertemu dua mahasiswa yang mendapat HSP Huygens tapi IPK-nya dua koma sekian sekian," imbuhnya.
Batas umur
Umumnya, lembaga pemberi beasiswa memasang angka 35 tahun sebagai batas maksimal dalam seleksi pendaftaran beasiswa magister (S-2). Di antara program beasiswa yang mensyaratkan umur maksimal 35 tahun adalah STUNED, beasiswa Kemenkominfo, dan beasiswa Monbukagakusho.
Pengalaman kerja
Beberapa beasiswa mensyaratkan pengalaman kerja minimal dua tahun. Tetapi, syarat ini bukanlah harga mati.
Ronald mengilustrasikan, lowongan beasiswa di Kemenkominfo memberi syarat. "Diutamakan memiliki pengalaman kerja minimal dua tahun," dia mengimbuhkan. Diutamakan, kata Ronald, bukan berarti harus. "Jadi, bisa saja ada yang pengalaman kerjanya kurang dari dua tahun diterima," ujar Ronald.
Selain masa bakti, pengalaman kerja di bidang yang relevan dengan yang dilamar juga bisa menguntungkan kita seperti beasiswa Erasmus Mundus (International Master in Industrial Management). Ronald menyebut, pengalaman kerja tidak selalu menjadi harga mati. "Tetapi, pengalaman tersebut akan membantu kita memahami materi kuliah," imbuhnya.
Waktu lulus
Beberapa beasiswa ada yang memasang persyaratan bahwa si pendaftar adalah mahasiswa tingkat akhir. Atau, jika sudah lulus, maka tahun kelulusan pendaftar tersebut tidaklah lebih dari satu tahun. Jadi, kebalikan dari beasiswa yang mensyaratkan pengalaman kerja, beasiswa jenis ini benar-benar mencari para fresh graduates.
Wawancara
Menurut Ronald, bisa dipastikan, akan selalu ada sesi wawancara dalam proses seleksi beasiswa. Jenisnya beragam, misalnya wawancara psikologi dan panel, serta dengan bahasa pengantar berbeda juga, bisa bahasa Indonesia, Inggris, atau bahasa ibu negara tujuan.
Dia berujar, pertanyaan yang diajukan dalam sesi wawancara ini biasanya seputar motivasi kuliah di luar negeri, topik riset yang akan diambil, hingga bayangan tentang akan jadi apa kita dalam 10 tahun mendatang.
"Meskipun kadang-kadang wawancara ngelantur ke mau menikah di usia berapa, kalau bayi kamu lahir mau diapain (pertanyaan ke salah satu peserta yang lagi hamil gede, langsung sama peserta tsb dijawab: ya dirawat Pak), siapa perdana menteri Jepang?" kata Ronald.
Meski begitu, ujar Ronald, ada juga beasiswa yang tidak mencantumkan wawancara sebagai bagian dari seleksi. Hal yang menentukan diterima atau tidaknya pelamar adalah pada kelengkapan berkas aplikasi yang dikirimkan.
"Sepanjang pengalaman saya, beasiswa Erasmus Mundusnya Uni Eropa dan Beasiswa HSP Huygensnya Belanda hanya menyeleksi dokumen," imbuhnya,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar