SERIUS. Judul ini tidak sekadar ingin mencuri perhatian pembaca sekalian. Kalau ribuan pendemo yang mengatasnamakan rakyat itu ramai-ramai menolak kenaikan BBM. Maka saya ingin juga meneriakkan sekeras-kerasnya sambil mengambil mikrofon, “Naikkan harga BBM aetinggi-tingginya!” Berhubung saya tidak ada yang mengongkosi untuk ikut turun ke jalan, maka saya memilih berteriak lewat tulisan.
Jangan salah, siapa bilang aksi turun ke jalan tidak butuh biaya akomodasi. Belum lagi otomatis seharian tidak bisa kerja cari duit. Yang buruh tidak berangkat kerja, yang petani tidak berangkat ke sawah, yang mahasiswa tidak berangkat ke kampus. Saya curiga, ada uang bonus ketika ikut demo. Untuk apa demonstrasi beramai-ramai yang sering berakhir ricuh dan hampir selalu menutup jalan bahkan ada yang sampai menutup bandara. Keterlaluan bukan? Begitu egois.
Toh, suara mereka belum tentu didengar. Yang ada malah fasilitas umum menjadi rusak. Siapa yang bertanggung jawab memperbaiki? Akhirnya pemerintah yang memperbaiki. Uang rakyat lagi yang digunakan. Bukannya ini musim demokrasi? Bukannya rakyat sudah punya wakil di DPR sana? Saya yakin mereka juga berjuang menyuarakan suara rakyat. Kalaupun kecewa dengan wakil rakyat, jangan salahkan mereka. Salah sendiri dulu memilih mereka. Perlu diingat pula, wakil rakyat mencerminkan rakyat yang diwakili.
Oke, stop sampai disini pembahasan tentang demo.
Kembali ke pernyataan yang ingin saya teriakkan untuk menaikkan harga BBM setinggi-tingginya. Naikkan saja harga BBM setinggi-tingginya. Saya yakin masalah kemacetan sedikit teratasi. Orang menjadi berfikir dua kali untuk menggunakan kendaraan pribadi karena yang bisa menggunakannya hanya orang yang kaya.
Nah, uang yang tadinya digunakan untuk menyubsidi BBM digunakan untuk membantu rakyat yang miskin untuk bangkit dari kemiskinannya. Digunakan sebaik mungkin untuk memberdayakan mereka. Memberi mereka modal usaha. Membuka lapangan pekerjaan baru.
Lho, kalau BBM naik harga barang-barang juga naik. Bagaimana dong? Ya sudah, kalau kemahalan dan tidak sanggup, jangan dibeli. Kalau sedikit yang beli bukannya harga akan turun? Kalau sudah turun baru dibeli. Saya sendiri sebenarnya kurang begitu percaya kalau jumlah rakyat kita yang miskin begitu banyak. Cobalah di antara mereka semua yang miskin hitung berapa uang yang habis untuk merokok saja selama sehari, lalu kalikan selama sebulan. Bisa diartikan itu berarti selama ini uang subsidi pemerintah untuk BBM digunakan masyarakat untuk membeli rokok. Ah, saya bukan ingin membahas rokok, tapi BBM.
Mungkin banyak di antara kita yang ragu dengan pengelola uang negara yang selama ini memang pantas diragukan. Berita korupsi sudah lagi menjadi biasa. Jumlahnya hingga miliaran pun juga sudah tidak asing. Pantaslah jika masyarakat meragukannya. Jangan-jangan setelah subsidi dicabut malah dikorupsi lagi. Jadi, saya sepakat dengan kenaikan harga BBM asalkan ada jaminan uang negara dikelola dengan lebih baik. Para koruptor dihukum mati karena merekalah yang mencekik rakyat sebenarnya.
Beruntunglah kita sekarang di zaman yang demokratis. Pengambilan keputusan tidak hanya semata-mata diambil sepihak seenak perutnya pak presiden. Presiden bukanlah raja, yang keputusannya bisa jadi asal-asalan. Presiden yang memilih kita sendiri, belum lagi para pengawas (anggota Dewan) juga kita sendiri yang memilih. Jadi, percayalah pada mereka. Mereka pasti berusaha memikirkan yang terbaik untuk kita.
Jika harga BBM dinaikkan karena subsidi dikurangi, pasti ada kebijakan lain yang membantu rakyat. Pasti sudah dipikirkan. Saya bukan kader partai pemerintah ataupun oposisi. Saya hanya ingin mengingatkan agar kita percaya kepada pemimpin kita. Apalagi kita sendiri yang memilihnya. Kalaupun ingin mengingatkan atau ingin berpendapat silakan. Ini zaman bebas berekspresi. Asal saja jangan mengganggu ketertiban. Jangan membuat pengguna jalan yang biasanya sudah merasakan kemacetan kini mengalami kemacetan kuadrat.
Ada banyak cara untuk mengungkapkan pendapat. Tidak selalu dengan aksi turun ke jalan sambil melempar pak polisi atau merusak pagar atau membakar ban. Kita bisa menggunakan teknologi informasi yang ada. Ada jejaring sosial, ada blog pribadi. Bahkan media massa sekarang tidak seperti dulu yang harus pro pemerintah. Sekarang bebas. Jadi, manfaatkanlah kebebasan itu dengan tanggung jawab dan jangan kebablasan. Itu saja.
Sebelum saya tutup, sekali lagi saya katakan saya bukan ahli dalam hal ini. Saya hanya orang bodoh yang ngomongin urusannya orang di atas sana. Ini sebagai bentuk kepedulian saja. Ikut menyemarakakkan hiburan masyarakat yang lagi ngetrend. Tapi saya yakin orang-orang di atas sana merupakan orang yang ahli, yang pintar, yang memikirkan segala kemungkinan. Jadi, jangan mendebat saya, ya..
Ridwan Kharis
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM)
mahasiswa biasa-biasa saja
kalau sekiranya tulisan saya kurang intelek, harap maklum
1 komentar:
good
Posting Komentar