Selasa, 06 Maret 2012

Dilema Skripsi dan Jurnal Ilmiah

BARU-baru ini, dunia pendidikan kita kembali dihebohkan dengan munculnya kebijakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pasalnya, kebijakan yang cenderung tergesa-gesa dan tiba-tiba ini mewajibkan publikasi jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan baik S-1, S-2, maupun S-3. Kebijakan Kemendikbud yang dituangkan dalam surat edaran Nomor 152/E/T/2012 per 27 Januari 2012 ini praktis menimbulkan pro dan kontra di kalangan akademisi. Terutama mahasiswa S-1 yang dirundung kegalauan antara skripsi atau jurnal ilmiah.


Sejatinya, tujuan publikasi jurnal ilmiah ini baik, yakni untuk meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi yang saat ini minim jurnal ilmiah. Jumlah publikasi hasil penelitian Indonesia pada 1996-2008 lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia (Kompas, 9/12/2011). Selain itu, kebijakan ini dapat digunakan sebagai momentum untuk memaksimalkan kinerja akademik dunia kampus serta memungkinkan evaluasi. Yang lebih penting, publikasi jurnal ilmiah ini adalah upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan hasil penelitian yang berdampak pada perbaikan dan pembangunan masyarakat.

Di sisi lain, pihak yang kontra terhadap publikasi jurnal ilmiah mensinyalir bahwa kebijakan yang 'memaksa' ini akan menelurkan dampak negatif seperti munculnya kuli penulisan jurnal ilmiah serta melahirkan jurnal karbitan tanpa mutu dan tidak memenuhi standar, karena sekedar untuk memenuhi syarat kelulusan. Kesiapan perangkat dan sarana prasarana juga menjadi kritikan tersendiri karena kebijakan tanpa didukung kesiapan publik dapat melahirkan penyimpangan substansial.

Kebijakan Dirjen Dikti ini seyogianya dikaji ulang secara cerdas dan tidak gegabah. Hal-hal yang perlu dikaji ulang antara lain; pertama, kenapa kualitas karya ilmiah mahasiswa masih cenderung rendah? Jangankan mahasiswa, doktor bahkan Guru Besar (Profesor)  di Indonesia pun masih miskin karya ilmiah. Lantas, bagaimana mungkin kebijakan ini dipaksakan untuk mahasiswa?

Kedua, kondisi kesiapan dan kematangan akademis di tiap-tiap perguruan tinggi yang berbeda. Begitu pula dengan kondisi perangkat dan sarana pra sarana. Perguruan tinggi di level kabupaten bahkan di level propinsi saja belum tentu siap dengan kebijakan ini.

Ketiga, yang perlu diwaspadai, kebijakan ini dikhawatirkan hanya akan meningkatkan kuantitas karya ilmiah dengan kondisi keterpaksaannya, sementara kualitasnya diragukan. Akibatnya, akan lahir transaksi, dan merebaklah pencipta jurnal ilmiah bayaran, hal ini merupakan salah satu bentuk praktik korupsi pendidikan.

Bagi penulis, hal yang paling menarik sebenarnya adalah acap kali kita terkesima untuk mengadopsi pada pencapaian dan kemajuan negara lain tanpa menyesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan. Inilah yang fenomena yang terjadi terkait kebijakan pubikasi jurnal ilmiah ini. Ditengarai bahwa kebijakan ini diputuskan karena kita tak mau kalah dengan Malaysia. Sepatutnya, sebelum kebijakan ini diputuskan, alangkah baiknya bila diberikan prolog kesiapan terlebih dahulu agar tidak terjadi keterkejutan. Jarang sekali kajian yang mendalam dan intens dari pemerintah tentang kesiapan sarana, sumber daya manusia (SDM), kondisi masyarakat, dan aspek-aspek lainnya yang sepatutnya dipertimbangkan.

Pada akhirnya, kebijakan ini telah diputuskan. Mekanisme implementasi kebijakan ini harus segera diperjelas. Serta bagaimana agar kebijakan ini bisa diterima semua kalangan juga harus diperhatikan. Selain kebijakan gradual, harus dilakukan pula program-program teknis guna meningkatkan kualitas karya ilmiah.

Mungkin saja kebijakan ini dibatalkan dan diganti dengan upaya  peningkatan kualitas karya ilmiah mahasiswa baik skripsi, tesis maupun disertasi dengan indikator kualitas nasional. Peningkatan kualitas adalah harga mati saat ini!

Sumber : http://oke**zone.com 

0 komentar:

Posting Komentar